Oleh: lskp2m | September 26, 2010

Laporan Survey Pilkada Kota Bandung


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mulai bulan Juni 2005, pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung dilaksanakan di beberapa daerah nusantara ini sebagai amanat konstitusi. Pilkada secara langsung tidak dapat dilepaskan dari proses penguatan demokrasi lokal dalam mendukung tujuan otonomi daerah. Dan otonomi daerah atau desentrlaisasi adalah merupakan proses demokratisasi di tingkat lokal, karena desentralisasi diyakininya merupakan upaya untuk memperkuat proses pengambilan keputusan oleh masyarakat lokal dalam mengatur kepentingannya sendiri.

Untuk itu dalam konteks ini Pilkada secara langsung sebagai instrument penguatan demokrasi lokal memiliki keterkaitan dengan pencipataan pengelolaan pemerintahan yang transparan dan akuntabel dalam peningkatan pelayanan kepada masyarakatnya. Pilkada secara langsung diyakini akan memberikan dampak yang signifikan terhadap pencapaian keseimbangan tata pemerintakan di tingkat lokal, yang pada giliran berikutnya berimplikasi terhadap peningkatan kualitas penyelenggaraan pemerintahan dalam pelayanan publik.

Kebijakan yang mengatur Pilkadal diatur dalam sejumlah tata peraturan yaitu: (1) Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pada bagian kedelapan (meliputi pasal 56 s.d. pasal 119);  (2) Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, dan Pengangkatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dirubah oleh Peraturan Pemerintah (PP) No. 17 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Sejarah pemerintahan Negara Republik Indonesia mengalami pasang naik dan pasang surut termasuk di dalamnya penyelenggaraan otonomi daerah. Karenanya, hingga dewasa ini setidaknya sudah tujuh Undang-Undang yang mengatur mengenai Pemerintahan Daerah, mulai dari UU No. 1 tahun 1945, UU No. 22 tahun 1948, UU No. 1 tahun 1957, UU No. 18 tahun 1965, UU No. 5 tahun 1974, UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004 yang merupakan wujudnyata penyempurnaan dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Dari kacamata historis, lahirnya UU No. 22 /1999 yang direvisi oleh UU No. 32 tahun 2004 ini, adanya perubahan yang mendasar dalam hal pemberian kewenangan kepada daerah dibandingkan dengan UU No. 5/1974. Perubahan fundamental dalam pemberian kewenangan yang sangat besar kepada daerah otonom dalam proses dan sekaligus pengambilan keputusan, pembagian kekuasaan secara horizontal antara  eksekutif dan legislatif dalam format pemerintahan daerah serta pemberian otonomi yang luas dan nyata pada daerah kabupaten/kota.

Karena itulah, posisi Kepala Daerah (dalam hal ini Wali Kota) mempunyai kewenangan dan kekuasaan yang sangat strategis membawa daerahnya. Kepala Daerah atau Kepala Pemerintahan ibarat kapten kapal yang berlayar di samudra luas dengan membawa penumpang-penumpangnya (rakyat). Artinya, bahwa kapten kapal itu harus tahu mau dibawa kemana kapal tersebut dengan awak-awaknya itu. Dari analogi demikian, dapat dikatakan bahwa Kepala Daerah/ Kepala Pemerintahan mempunyai posisi yang strategis dalam mengelola pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Maka sangat wajar dewasa ini posisi sebagai “The Number One” Kota Bandung pun menjadi incaran banyak orang, dikarenakan ia sungguh-sungguh merupakan “penguasa daerah” yang bertanggungjawab kepada rakyat daerahnya (dalam konteks UU No. 32/2004 Kepala Daerah Kabupaten/Kota bertanggung jawab kepada Mendagri melalui Gubernur, kepada Badan Legislatif secara substansial sama dengan UU No. 5/1974 sebagai laporan saja dan tidak memiliki implikasi politis yang signifikan, sedangkan kepada rakyat sebagai informasi pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan). Terutama seperti Kota Bandung sebagai Ibu Kota Provinsi Jawa Barat juga sarat dengan predikat dan memiliki sumber daya yang potensial.

Guliran perubahan tersebut dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah tak sebatas pemberian kewenangan saja, namun, derasnya semangat demokratisasi telah membawa gelombang politik yang signifikan dalam hal demokratisasi lokal, yakni pemilihan kepala daerah secara langsung. Dengan kata lai, perubahan paradigma politik, pertama dan terutama dalam pemilihan kepala daerah yang selama ini dijalankan di ruang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (baca: oleh elit-elit politik DPRD), dewasa ini, “diserahkan” kepada rakyat di daerahnya masing-masing sebagai perwujudan pelaksanaan demokrasi.

Dengan demikian, agar perjalanan penyelenggaraan pilkada langsung berjalan dengan lancar sebagaimana menjadi harapan masyarakat luas, dan khususnya penyelenggara pilkada, yaitu KPUD,  tentu saja membutuhkan dukungan dari berbagai dimensi mulai dari kedewasaan infrastruktur politik dan supratruktur politik, sehingga pemilihan kepala daerah tersebut sebagai perwujudan demokrasi lokal (local democratic) dalam membangun dan mensejahterakan rakyat di daerahnya masing-masing menjadi kenyataan.

Masyarakat, khususnya masyarakat pemilih sebagai body politic, merupakan subyek dan sekaligus obyek dalam kancah perpolitikan local. Karenanya, masalah pokok yang akan diungkap dalam survai ini adalah mengidentifikasi responden dan perilaku politiknya (sikap politik) dalam setting suatu pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkada langsung) yang representatif dapat dijelaskan dan dipahami dalam kancah perpolitikan lokal, khususnya Kota Bandung.

Dalam kerangka inilah, upaya untuk memperoleh posisi itu secara niscaya harus dipahami sebagai “perjuangan” yang tidak sederhana dan gampang. Karenanya memerlukan konsentrasi pemikiran, taktik dan strategi yang akurat untuk mendapatkan posisi Bandung I tersebut tanpa menimbulkan gejolak dan biaya sosial yang besar.

1.2 Perumusan masalah

Rumusan masalah pada survey ini, adalah : Bagaimana Sikap Masyarakat Kota Bandung Dalam Pilkada Langsung. Adapun sub pertanyaan-sub pertanyaan yang hendak dijawab adalah sebagai berikut: pertama, mengukur keadaan awal proyeksi suara yang belum tentu sifatnya dengan mengidentifikasi sang kandidat? Kedua, mengidentifikasi kecenderungan responden dalam menentukan pilihan pilkada langsung ? Dan harapan politik responden terhadap kota Bandung?

1.3 Tujuan dan Manfaat

Adapun tujuan survai ini terdiri dari : pertama, untuk mengetahui pengertian dan harapan yang terinci mengenai masalah tunggal Kota Bandung, yang berkaitan dengan kepentingan Kota Bandung. Kedua, untuk melakukan eksplorasi dan pengkajian mengenai \dinamika politik lokal dalam pemilihan kepala daerah langusng, sehingga masyarakat pemilih sebagai body politic dapat diketahui secara berarti kecenderungannya. Ketiga, untuk mendeskripsikan perilaku politik (sikap politik) masyarakat pemilih dalam menentukan pilihannya untuk kepala daerah. Keempat, ingin mengetahui peran sikap politik pemilih pada taranan lokal dan mengkajinya dalam pementingan pemerintahan Kota Bandung sebagai ibu kota Provinsi Jawa Barat.

Sedangkan manfaat penelitian survai ini diharapkan akan dapat memberikan: pertama, gambaran bagi masyarakat umum tentang kandidat-kandidat yang diharapkan. Kedua, sebagai bahan masukan/pertimbangan sang kandidat dalam rangka pemenangan Bandung I.


BAB II

METODOLOGI

2.1 Metode Survai

Sehubungan dengan semakin dekatnya pilkada Kota Bandung, maka pendekatan yang digunakan harus mampu menggambarkan aspek-aspek yang komprehensif dan mendalam untuk memperoleh analisis secara empirik sesuai dengan kenyataan yang ada. Namun begitu, survai ini tidak dimaksudkan merepresentatifkan keseluruhan masyarakat Kota Bandung, melainkan hanya merekam sebagian kecil saja.

Survai ini menggunakan metode kualitatif. Menurut Bruce (1991: 43) metodologi ini mengacu pada strategi penelitian seperrti observasi partisipan, wawancara mendalam, partisipasi total ke dalam aktivitas mereka yang diselidiki, kerja lapangan dan sebagainya yang memungkinkan peneliti memperoleh informasi tangan pertama mengenai masalah sosial empiris yang hendak dipecahkan.

Dengan metode ini memungkinkan peneliti mendekati data sehingga mampu mengembangkan elemen-elemen keterangan yang analitis, konseptual dan bahkan katagoris dari data itu sendiri dan bukan dari teknik-teknik yang dikonsepsikan sebelumnya.

Berdasarkan metode seperti ini, tipe penelitian/survai yang digunakan menjadi bersifat deskriptif. Penelitian ini dipergunakan dalam upaya memecahkan atau meyelidiki fenomena di dalam kontek kehidupan nyata, batas antara fenomena dan konteks tidak nyata/tampak serta memanfaatkan multi sumber. Adapun tujuannya tiada lain untuk memberikan gambaran tentang sesuatu keadaan secara obyektif melalui serangkaian langkah-langkah pengumpulan data, klasifikasi data serta pengelolaan data dan analisisnya.

Dalam penelitian ini pun digunakan penelitian eksploratif yang mana dalam penelitian ini bersifat terbuka, dan mencari-cari. Dengan metode penelitian deskriptif eksploratif ini  peneliti hendak melacak dinamika perilaku politik pemilih melalui peran dan tuntutan masyarakat pemilih berperan aktif dalam kancah politik lokal sebagai body politic daerah Kota Bandung.

2.2 Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam survai ini yaitu dengan teknik-teknik: pertama, wawancara sebagai cara utama untuk mengumpulkan data/informasi. Ini bisa dimengerti setidak-tidaknya karena dua alasan: dengan wawancara peneliti dapat menggali tidak saja apa yang diketahui dan dialami seseorang/subyek yang diteliti, tetapi juga apa yang tersembunyi jauh di dalam diri subyek penelitian (explicit knowledge maupun tacit kwonledge); apa yang ditanyakan kepada informan bisa mencakup hal-hal yang bersfiat lintas waktu yang berkaitan dengan masa lampau, masa sekarang, dan juga masa mendatang. Sedangkan dalam wawancara ini menggunakan wawancara tidak berstruktur; dilakukan secara terang-terangan dan menempatkan informan sebagai sejawat peneliti. Dalam pengumpulan data dengan teknik wawancara mendalam dengan sejumlah pemilih dalam rangka mengumpulkan data primer.

Kedua, observasi langsung kepada masyarakat. Oleh karena untuk mengungkap data-data yang diperlukan  dicarikan melalui observasi di lapangan. Dalam hal ini memungkinkan peneliti dapat merekam langsung perilaku-perilaku politik atau sikap politik pemilih sebagaimana adanya. Ketiga, melakukan analisis melalui pengumpulan data-data primer secara sistematis guna mempertajam analisis seperti mengidentifikasi unit observasi, cara mengklasifikasi dengan variabel sebagai kreterianya.

2.3 Teknik Analisis Data

Adapun analisis data mulai dari proses pengumpulan data berlangsung, di mana dalam setiap informasi dan data yang ditemukan dicross check dengan komentar responden yang berbeda untuk mendapatkan data dan informasi yang lebih akurat dan obyektif.

Dalam analisis data pun dilakukan melalui penyaringan data, pengelolaan dan penyimpulan serta interpretasi logis. Dengan melalui proses inilah penyimpulan dibuat agar tujuan untuk memperkuat atau memperkokoh dan memperluas bukti yang dijadikan landasan. Analisis ini pun menggunakan dua metode yaitu trianggulasi dan interpretasi.

Trianggulasi adalah metode yang pada dasarnya berpijak pada validitas temuan-temuan dan tingkat kepercayaan akan tinggi dengan pemakaian lebih dari satu teknik pengumpulan data. Menurut Maleong (1990: 46) metoda ini merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau pembanding terhadap data itu.

Dan survai ini juga menggunakan penelitian interpretatif, di mana metode penelitian ini adalah untuk mendapatkan makna serta analisis terhadap obyek-obyek, peristiwa-peristiwa dan tindakan-tindakan aktor. Metode penelitian ini berusaha mencari makna atas tindakan sosial dengan cara berempati terhadap agen yang melakukan aksi/gerakan dalam masyarakat, baik yang berupa ekspresi bahasa maupun non bahasa atau gerak tubuh yang lain.

2.4 Ruang Lingkup Survai

Ruang lingkup survai ini berada di wilayah Kota Bandung yang melingkupi 26 kecamatan dan 139 kelurahan, atau berdasarkan Daerah Pemilihan. Namun, karena keterbatan ruang waktu dan biaya, maka survai ini untuk menentukan responden diambil sampel secara acak pada beberapa kelurahan (23 kelurahan), dan masing-masing kelurahan 10 responden saja, dengan tidak bermaksud menunjukkan keterwakilan seluruh masyarakat Kota Bandung.

Adapun kelurahan-kelurahan yang dijadikan lokus survai ini adalah sebagai berikut:

No. Kelurahan Jumlah Responden
1 Binong 10
2 Kebon Gedang 10
3 Cipedes 10
4 Margasari 10
5 Marga Senang 10
6 Sekajati 10
7 Sukamiskin 10
8 Cipadung Kulon 10
9 Palasari 10
10 Pasir Biru 10
11 Cipamokolan 10
12 Darwati 10
13 Margahayu Utara 10
14 Sukahaji 10
15 Taman Sari 10
16 Cibuntu 10
17 Antapani 10
18 Arcamanik 10
19 Turangga 10
20 Pungkur 10
21 Jamika 10
22 Geger Kalong 10
23 Dago 10
Jumlah 230

Kemudian, ranah survai dipilih berdasarkan kategori-kategori atau satuan kajian dalam masalah Pilkada langsung Kota Bandung. Satuan survai ini dilandasi oleh identifikasi responden, dan identifikasi sang kandidat serta sikap politik responden dalam menentukan pilihannya. Survai ini dilakukan tim peneliti dari Institute Public Policy and Participatory Society Studies (IP3SS).

2.5 Jadwal Kegiatan Survai

Survai ini dilakukan selama 2 bulan mulai dari 10 Februari  hingga 10 April 2007.

BAB III

HASIL SURVAI PILKADA LANGSUNG

3.1 Hasil Survei

Tradisi pemilihan Kepala Daerah selama ini oleh badan legislatif, nyata berdasarkan undang-undang yang berlaku dewasa ini telah ditinggalkan (baca: hilangnya kewenangan DPRD dalam pemilihan kepala daerah), dan memulai meneratas sebuah tata kehidupan politik yang lebih baik. Maksudnya, pemilihan Kepala Daerah sadar atau tidak sadar adalah merupakan test case bagi bangsa Indonesia dalam pembelajaran demokrasi lokal. Sehingga tingkat kedewasaan, dan keadilan berpolitik, tampak dengan jelas terkuak/terbuka. Dan pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung sebagai ruang partisipasi politik rakyat untuk memilih figur pemimpin di daerahnya.

Pilkada langsung, di dalamnya merupakan satu kriteria krusial dalam mengukur kadar demokrasi sebuah politik. Kadar atau kualitas demokratisasi sebuah negara bangsa (daerah) diukur dengan ada tidaknya pemilu yang mengabsahkan pemerintahan. Dalam pemikiran tersebut, ada kesadaran yang harus dibangun, yaitu praktek pilkada secara langsung akan menjadi indikator formal dari demokratisasi politik. Dan sisi substansial politik, kualitas demokrasi sebuah negara bangsa/daerah menjamin kesejahteraan rakyat.

Sebagai nilai substansial pilkada secara langsung, mesti mencerminkan adanya kebebasan rakyat dan sirkulasi kekuasaan secara transparan, adil dan beradab. Dalam bahasa lain, pemilihan umum/pilkada secara langsung (demokratis) adalah mampu menampung aspirasi, menghasilkan stabilitas pemerintahan (daerah) sebagai modal untuk membangun berbagai dimensi kehidupan secara sehat. Fungsi pilkada langsung sebagai pelembagaan demokrasi lokal dengan penguatan partisipasi aktif rakyat. Karenanya, memberikan kebebasan atau tidak menjebak rakyat pemilih untuk “membeli” figurnya karena memang diperkenalkan secara luas kepada khalayak sebagai body politic dan adanya penghitungan suara yang terbuka. Dengan demikian, Pilkada mengharuskan adanya pertanggungjawaban Kepala Daerah langsung kepada rakyat dan Pilkada dinilai lebih akuntabel dibandingkan sistem pemilihan yang dilakukan oleh DPRD.

Hasil survai yang dikategorikan ke dalam beberapa variabel sebagai deskripsi kecenderungan pemilih Kota Bandung terhadap Pilkada langsung, dapat disimak di bawah ini.

  1. a. Identitas Responden

Yang mendasari identitas responden diungkap tiada lain untuk merekam kecenrungan-kecenderungan para pemilih dalam pemilihan pilkada langsung.

Adapun yang diungkap di sini, usia, jenis kelamin dan tingkat pendidikan. Karena alasan terpenting usia responden digambarkan adalah apakah responden tersebut sudah mempunyai hak untuk memilih dan dipilih.

Gambaran tersebut dari hasil survai sebanyak 230 responden, menunjukkan sebaran interval sebagai berkut: 22 – 26 sebanyak 8 orang (3,57%); 27 – 31 sebanyak 25 orang (10,71%); 32 – 36 sebanyak 41 orang (17,86%); 37 – 41 sebanyak 49 orang (21,43%); 42 – 46 sebanyak 66 orang (28,57%); 47 – 51 sebanyak 33 orang (14,28%) dan 52 ke atas sebanyak 8 orang (3,57%).  Sebagaimana dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

17,86%

Keterangan:

22 – 26 Tahun
37 – 41 Tahun
42 – 46 Tahun
47 – 51 Tahun

  1. b. Jenis Kelamin

Keadaan jenis kelamin dalam hal pemilihan kepala daerah secara langsung, secara niscaya menunjukkan kadar rasionalitas pemilih itu sendiri, kendati bukan satu-satunya faktor determinan. Karena itu di sini sebagai hasil survai digambarkan jenis kelamin responden sebagai berikut:

Hasil survai, terekam sebanyak 131 responden adalah laki-laki (57,14%), dan perempuan sebanyak 99 responden  (42,86%) dari 230 responden yang disurvai.

  1. c. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan seseorang adalah merupakan bagian terpenting dalam melakukan alternatif pilihan, karena semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin rasional dalam menentukan pilihan.

Aspek pendidikan merupakan bagian integral dalam melaksanakan aktivitas-aktivitas, termasuk menentukan pilihan dalam Pilkada langsung. Jenjang pendidikan sebagai salah satu dimensi penting untuk mengukur seseorang bertindak rasional atau sebaliknya. Berdasarkan hasil survai sebagaimana terlihat pada gambar di bawah ini, menunjukkan jenjang pendidikan yang telah mempunyai hak untuk memilih sangat variatif.

26,08%
26,08%

Keterangan:

Demikian, keadaan tingkat pendidikan responden hasil survai memperlihatkan jenjang pendidikan SLTA dengan jumlah 60 orang (atau 26,08 %), D1, D2, dan D3 sebanyak 60 orang (26,08%), dan jenjang pendidikan Sarjana (S1) sebanyak 107 orang (46,52 %), dan pasca sarjana (S2) 3 orang (atau 1,308%).

  1. d. Terdaftar Sebagai Pemilih di Daerah Pemilihan

Seringkali persoalan dalam pemilihan pilkada langsung di beberapa daerah terjadi ketidakpuasan, karena salah satunya memang pemutakhiran data selalu menjadi persoalan yang signifikan dalam pemilihan tersebut, ada yang tidak terdaftar dan ada pula yang tidak mendapat panggilan. Dengan kata lain, persoalan daftar pemilih selama  pilkada, acapkali mendulang protes dari berbagai pihak. Karena peserta pemilih tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap, dan bahkan tidak mendapatkan kartu pemilih, sehingga berakibat terjadi konflik yang  berujung pada proses pengadilan.

Pendaftaran daftar pemilih memiliki peranan strategis, oleh karena berdampak ke seluruh aspek pelaksanaan pilkada tersebut, baik itu logistik, keuangan, tingkat partisipasi politik, manajemen dan sejenisnya. Dan di sisi lain yang membuat suksesnya pilkada  faktor yang menjadi penentu ialah faktor pemilih, baik dalam arti kuantitas maupun kualitas.

Aspek kuantitas ini berkait erat terhadap seseorang yang sudah berhak memilih dan dipilih. Oleh karena itu, up dating data (pemutakhiran data) para pemilih sangat penting untuk dilakukan. Dalam arti, bahwa menggunakan data waktu pemilihan presiden tahun 2004, tidak cukup, karena peserta pemilih sudah mengalami perubahan, apakah karena pindah, berubah status (seperti TNI/ POLRI  yang sudah pensiun dan menjadi penduduk sipil,  ada yang berumur 17 tahun pada hari pemilihan, belum berumur 17 tahun namun sudah kawin, telah meninggal dunia, dan sebagainya).

Data pemilih tersebut berpeluang besar mengalami perubahan, karenanya pemutahiran data harus dilakukan secara berkesinambungan sampai pelaksanaan pilkada langsung. Kegagalan memutakhiran data penduduk akan berakibat pada banyaknya pemilih yang tidak akan memperoleh kartu pemilih dan hak pilih.

Dari aspek kualitas, tentu saja pemilih harus diupayakan untuk menggunakan hak pilihnya sebagai warga negara yang baik.  Sebagaimana banyak dilansir, perlu persiapan  pendataan pemilih  agar pesta demokrasi dapat terwujud dengan baik dan menjadi kemuaan bersama dan apa yang bebar-benar diinginkan oleh rakyat.

Seiring dengan hal itu,  survai yang dilakukan menanyakan terhadap responden tersebut apakah mereka terdaftar sebagai pemilih atau tidak di daerah pemilihannya. Hasil survai, 100 persen dari jumlah 230 responden menyatakan terdaftar sebagai pemilih.

Di samping itu, survai pun menanyakan terhadap responden jumlah pemilih pada masing-masing keluarganya . Hal ini penting dilakukan karena satu suara saja justru sangat menentukan dalam pemilihan kepala daerah secara langsung. Dari jumlah responden 230 tersebut, setelah diolah dan dibagi rata-rata, menunjukkan bahwa setiap keluarga jumlah pemilihnya rata-rata 4 (empat) orang pemilih. Ini berarti dalam 230 keluarga jumlah pemilih mencapai 920 orang pemilih. Suara pemilih sebanyak ini sangat penting dan menentukan untuk suksesnya Pilkada langsung.


  1. e. Pilkada Langsung Kota Bandung
  1. Seandainya diadakan Tahun ini (2007)

Sebagaimana pada awal tulisan ini dijelaskan bahwa survai ini dimaksudkan untuk mengetahui dan mengidentifikasi kecenderungan dan sikap politik responden dalam pemilihan kepala daerah secara langsung Kota Bandung.

Seiring dengan hal itu, survai mencoba menanyakan kepada responden, apabila pemilihan kepala daerah Kota Bandung diadakan tahun ini dengan model alternatif jawabannya, yaitu: yang menjabat sekarang (Walikota) dan yang lain.

Indikasi menguatnya keinginan yang menjabat walikota yang sekarang, di antaranya ditunjukkan agar dapat menindaklanjuti program yang sudah ditetapkan oleh walikota sekarang. Dengan kata lain, adanya kesinambungan (estafet) pembangunan dan atau program yang telah dicanangkan, sehingga dapat terwujud dengan baik. Hal itu terlihat dari sikap sebagian besar  64, 35% (148 orang) responden yang menghendaki dan atau memilih Walikota sekarang. Hanya 35,65% saja ( 82 orang) responden yang menghendaki  yang lain (dalam arti tidak memilih yang sekarang sedang menjabat)

.

Yang Lain
  1. 2. Harapan

Adapun sikap politik responden untuk Kota Bandung, yang berhubungan dengan harapannya, terutama terhadap walikota sekarang yang sedang menjabat, setelah diidentifikasi dan diolah data dari hasil survai, harapan-harapan dari sejumlah 230 orang responden tersebut, maka sebanyak 45,71% responden (105 orang) berkait erat dengan persoalan Bandung agar tertib, aman, bersih dan indah sesuai dengan visi dan misi kota Bandung. Di samping itu, keinginan yang mengemuka dalam survai tersebut adalah: agar walikota memperbaiki bidang aparatur, sebanyak 21,26% responden ( 49 orang ); pembangunan dan pemeliharaan tata kota ditata dengan baik sebanyak 15,16% responden ( 35 orang); penegakan terhadap ketentuan hukum yang telah ditetapkan yaitu 10,45% responden   ( 24 orang) dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebanyak 7,42% responden (17 orang). Hal ini dapat disimak pada gambar di bawah ini

Keterangan:

Pemeliharaan tata kota
  1. 3. Penilaian Tugas Walikota Sekarang

Dalam survai ini pun, mencoba merekam responden untuk memberikan sebuah penilaian terhadap menjalankan tugas pekerjaan walikota dengan memberikan kriteria penilaian yaitu: baik sekali, baik, kurang baik, atau tidak baik.

Hasil survai yang diolah setelah diidentifkasi persoalan-persoalan apa saja yang memperlihatkan bahwa walikota sekarang yang sedang menjabat telah menjalankan tugasnya dengan baik, yaitu dalam bidang pemerintahan  dan pendidikan, hal ini direspon oleh responden sebanyak 43, 76% (atau 101 orang) dan sebanyak 56,24% responden (129 orang) menyatakan bahwa walikota kurang baik dalam menjalankan tugas bidang- bidang : kebersihan dan ketertiban, penataan sampah samrawut, penataan wilayah, dan PKL dan pemerataan pemangunan.

  1. 4. Condong memilih Walikota yang sedang menjabat

Kemudian, dalam survai juga ditanyakan terhadap responden dalam menentukan pilihannya lebih condong ke mana, dan tampaknya dari hasil survai tersebut menggambarkan bahwa sebanyak 64,35% responden (148 orang) justru dalam pilkada langsung lebih condong untuk memilih walikota yang sekarang menjabat. Alasan dari 148 orang tersebut sangat variatif, namun setelah diidentifkasi menunjukkan bahwa mereka responden memilih kepada pejabat yang sekarang karena di antaranya: kepemimpinannya; harapan ke arah perbaikan lebih terbuka dan dapat melanjutkan dan memperbaiki program-program sekarang kemudian ditindaklanjuti

Sedangkan yang kurang condong untuk memilih pejabat walikota yang sekarang, sebnayak 35,65% responden (atau 82 orang) memperlihatkan karena walikota sekarang kurang tegas dalam menindak oknum, penyakit social, seperti perjudian dan prostitusi serta alasan lainnya adalah penanganan sampah, lalu lintas dan  yang kurang baik sehingga samrawut.

Kurang condong memilih walikota yang sekarang
Lebih condong memilih walikota yang sekarang

3.2 Pilkada Langsung: Ruang Partisipasi Politik Rakyat

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung, merupakan bagian integral perwujudan demokrasi politik di Daerah, dengan harapan besarnya adalah adanya keinginan untuk segera melakukan perubahan tatanan sosial politik di daerah. Tradisi pemilihan Kepala Daerah selama ini oleh badan legislatif, nyata berdasarkan undang-undang yang sedang berlaku dewasa ini telah ditinggalkan, dan memulai meneratas sebuah tata kehidupan politik yang lebih baik. Maksudnya, pemilihan Kepala Daerah sadar atau tidak sadar adalah merupakan test case bagi bangsa Indonesia dalam pembelajaran demokrasi di daerah. Sehingga tingkat kedewasaan, dan keadilan berpolitik, tampak dengan jelas terkuak/terbuka. Dan pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung sebagai ruang partisipasi politik rakyat untuk memilih figur pemimpin di daerahnya.

Memperhatikan hal itu, sangat menarik di satu sisi dikaitkan dengan proyeksi pencerahan politik masa depan bangsa Indonesia dengan nilai-nilai pendidikan politik dari proses pemilihan Kepala Daerah secara langsung sebagai salah satu entry point untuk proses pencerahan nalar politik rakyat Indonesia, khususnya masyarakat Kota Bandung ini.

Pilkada, di dalamnya merupakan satu kriteria krusial dalam mengukur kadar demokrasi sebuah politik. Kadar atau kualitas demokratisasi sebuah negara bangsa (daerah) diukur dengan ada tidaknya pemilu yang mengabsahkan pemerintahan itu. Dalam pemikiran tersebut, ada kesadaran yang harus dibangun, yaitu praktek pilkada secara langsung akan menjadi indikator formal dari demokratisasi politik. Sedangkan sisi substansial politik, kualitas demokrasi sebuah negara bangsa/daerah menjamin kesejahteraan rakyat.

Sebagai nilai substansial pilkada secara langsung, mesti mencerminkan adanya kebebasan rakyat dan sirkulasi kekuasaan secara transparan, adil dan beradab. Dalam bahasa lain, pemilihan umum/pilkada secara langsung (demokratis) adalah mampu menampung aspirasi, menghasilkan stabilitas pemerintahan (daerah) sebagai modal untuk membangun berbagai dimensi kehidupan secara sehat.

Berdasarkan sudut pandang sosiologi politik, pilkada langsung adalah merupakan fakta yang tak bisa diabaikan dalam meningkatkan kualitas demokrasi masyarakat sebuah negara bangsa itu sendiri. Pilkada secara langsung sebagai pelembagaan demokrasi lokal dengan penguatan partisipasi aktif rakyat; dan memberikan kebebasan atau tidak menjebak rakyat pemilih untuk “membeli” figurnya karena memang diperkenalkan secara luas kepada khalayak sebagai body politic.

Di samping itu, tata pemerintahan (good governance) yang baik mengharuskan pemerintah  menjamin warganya untuk memperoleh akses yang sama  pada semua bidang seperti bidang politik  yang diatur dalam UUD 1945. Pembangunan demokrasi yang kokoh, Robert Dahl (1978) menawarkan dengan cara melakukan penguatan demokratisasi di tingkat lokal. Tanpa pemberdayaan demokrasi pada tingkat lokal, maka kerangka demokrasi pada tingkat nasional akan rapuh. Untuk mewujudkan demokrasi pada tingkat lokal dapat dilakukan dengan cara menggulirkan kebijakan yang bernuansa desentralisasi politik. Atau devolusi kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Hal ini dipertegas oleh Smoke (1996) mengatakan desentralisasi sebagai evolusi adalah ”devolution of power from central to local goverment”. Atau  desentralisasi adalah ”the transfer of power, from top level to lower level, in a teritorial hierarchy which could be one government within a State, or offices within a large organitation.

Desentralisasi dalam tataran lebih luas, bahwa pemerintahan pusat tidak hanya sekedar memberikan kewenangan terhadap pemerintahan daerah, namun juga memberikan penguatan demokrasi lokal (local democracy), di mana kedudukan dan keterlibatan warganegara dalam setiap proses dan pengambilan keputusan di tingkat lokal benar-benar berjalan signifikan. Dengan demikian, Pilkada langsung merupakan titik awal perubahan menuju democratic governance (tata kelola pemerintahan yang demokratis).  Dengan kata lain, guliran perubahan dengan derasnya semangat demokratisasi tersebut, telah membawa gelombang politik yang signifikan dalam hal demokratisasi lokal, yakni pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkadal) yang sebelum-sebelumnya hanya oleh beberapa gelintir orang yang ada di DPRD. Menurut Sumber Depdagri 2006, sejak bulan Juni 2005 sampai dengan akhir Maret 2006 sebanyak 230 Daerah. Sementara untuk pelaksanaan Maret -Desember 2006 masih direncanakan ada 44 Daerah lagi yang akan melaksanakan, sehingga seluruhnya sudah mencapai 274 Daerah yang melaksanakan Pilkadal.


BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Survai Pilkada langsung ini adalah merupakan bagian kecil dan tidak dimaksudkan merepresentatipkan pemilih Kota Bandung, namun sebagai upaya merekam kecenderungan pemilih dalam menggunakan hak pilihnya pada Pilkada langsung.  Berdasarkan pembahasan itulah, maka dalam bab terakhir ini, mau mendeskripsikan bahwa kehendak perubahan dalam kehidupan politik dan pemerintahan daerah, terutama dalam pemilihan kepala daerah telah bergeser kepada yang memiliki kedaulatan, yaitu rakyat.

  1. Pilkada langsung adalah merupakan model melembagakan demokrasi lokal, sebagai agenda penting dan strategis dalam membangun pemerintahan daerah yang akuntabel dan demokratis.
  2. Pemilihan kepala daerah sekaligus telah membuka ruang partisipasi politik rakyat dalam menentukan dan atau memilih figur pemimpin di daerahnya. Karena itu, merupakan perwujudan nyata asas responsibilitas dan akuntabilitas penyelenggaraan kedaulatan rakyat serta mengharuskan adanya pertanggungjawaban Kepala Daerah langsung kepada rakyat maka dengan demikian Pilkada dinilai lebih akuntabel dibandingkan sistem pemilihan yang dilakukan oleh DPRD.
  3. Desentralisasi dalam tataran lebih luas, bahwa pemerintahan pusat tidak hanya sekedar memberikan kewenangan terhadap pemerintahan daerah, namun juga memberikan penguatan demokrasi lokal (local democracy), di mana kedudukan dan keterlibatan warganegara dalam setiap proses dan pengambilan keputusan di tingkat lokal benar-benar berjalan signifikan. Berarti, Pilkada langsung merupakan titik awal perubahan menuju democratic governance (tata kelola pemerintahan yang demokratis).
  4. Warga Bandung dalam survai ini, menunjukkan antusiasme dalam pilkada langsung, dan indikasi menguatnya keinginan menentukan pilihan kepada walikota yang sekarang sedang menjabat ditunjukkan oleh sebagian besar responden, dengan argumentasi-argumentasi di antaranya untuk melanjutkan dan memperbaiki program-program yang telah diputuskan sebelumnya. Namun di samping itu, adanya penilaian kurang baik dalam menjalankan tugasnya pejabat walikota sekarang, pertama dan terutama dalam bidang-bidang kebersihan, ketertiban dan keindahan, penataan sampah samrawut, penataan wilayah, dan PKL dan pemerataan pembangunan yang ditunjukkan sebanyak 56,24% responden (129 orang).
  5. 5. Pilkada langsung dapat dipandang sebagai salah satu pilar penting dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah untuk mendorong terjadinya  suatu tata hubungan yang seimbang dan sinergis antar seluruh pelaku pembangunan mulai dari unsur pemerintahan (eksekutif dan legislatif) dalam kerjasama atau kemitraan dengan unsur-unsur masyarakat madani.

4.2 Saran-Saran

  1. Survai ini memang tidak dimaksudkan untuk mewakili pemilih kota Bandung, melainkan sebagai salah satu upaya merekam kecenderungan atau proyeksi awal para pemilih dalam menentukan pilihannya.
  2. Bagi incumbent (calon yang sedang menjabat) diharapkan hasil survai ini sebagai bahan pertimbangan masukan dalam menentukan program-program strategis pemerintahan dan pembangunan selanjutnya dalam mengelola kepemerintahaan yang baik yang berimplikasi terhadap peningkatan kualitas pelayanan publik.

DAFTAR  PUSTAKA

Apter, David E. 1987, Pengantar Analisa Politik, Jakarta, LP3ES

Gaffar, Affan, 2004, Politik    Indonesia :  Transisi  Menuju           Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

Kantaprawira, Rusadi, 1985, Sistem   Politik  Indonesia :  Suatu          Model

Pengantar, Sinar Baru, Bandung

Nuryanti, Sri (editor), 2006,  Analisa  Proses  dan   Hasil   Pemilihan  Kepala

Daerah Langsung 2005 di Indonesia, LIPI, Jakarta

Dokumen Kebijakan Publik:

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005  tentang  Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah


Tinggalkan komentar

Kategori