Oleh: lskp2m | Mei 7, 2012

Menengok Kembali Kabinet Koalisi Multipartai


Oleh Silahudin

PERSOALAN koalisi dalam kepolitikan kontemporer Indonesia adalah merupakan persoalan yang menjadi agenda bersama. Menjadi agenda bersama, oleh karena pemilu di era refomasi (1999, 2004 dan 2009) tidak ada satupun partai politik yang menang secara mayoritas absolut.

Pemilu 2009 pun yang diikuti dengan multipartai, yang dimenangkan oleh Partaai Demokrat, hanya keluar sebagai pemenang pemilu (suara terbanyak pertama) di antara partai politik lainnya. Itulah sebabnya, koalisi menjadi suatu keniscayaan dalam pergumulan kehidupan politik negara bangsa dalam membentuk pemerintahan baru.

Babak baru kepolitikan nasional ini, menjadi tantangan bagi partai politik yang melakukan koalisi untuk menjalankan pemerintahan koalisinya berjalan dengan kondusif atau tidaknya. Era baru kepolitikan Indonesia dengan kabinet koalisinya, tak ayal lagi harus mempunyai arah yang jelas, sehingga koalisi yang dilakukan oleh beberapa partai politik tersebut secara niscaya mempunyai arah dan tujuan yang jelas.

Seiring dengan terpiiihnya Susilo Bambang Yudoyono (SBY) pada pemilu presiden 2009 dengan perolehan suara 60 persen lebih, maka Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II pun terbentuk berdasarkan koalisi partai-partai (Partai Demokrat, Partai Golkar, PKS, PAN, PKB, dan PPP). Artinya, Pemerintahan SBY ini didukung oleh 75,54% partai politik yang duduk di parlemen.

Jadi, dalam pemerintahan Presiden SBY, sesungguhnya telah terbentuk partai utama dalam pemerintahannya dengan mayoritas mutlak. Memang, proses koalisi tidak begitu saja terjadi, namun beberapa pertimbangan utama pun secara niscaya dilakukan dan diperhatikan Paling tidak, pertama, kesamaan visi bagi mekanisme penyelenggaraan roda pemerintahan, menjadi identitas koalisi partai politik yang melakukan koalisi mesti dipertahankan.

Persoalannya, idealisasi koalisi tersebut, untuk mengakomodir secara representatif terhadap kekuatan-kekuatan politik yang riil dalam parlemen, artinya, koalisi permanent yang ditopang di dalam dukungan politik mayoritas, atau sebaliknya, sekadar koalisi “prematur” yang disandarkan pada pemilihan presiden semata?

Kedua, koalisi bisa terjadi, tidak hanya ada dalam dataran ideologi yang sama, namun atas pertimbangan kepentingan jabatan politik pun kerapkali tak bisa diabaikan dalam dunia nyata politik tersebut. Kesamaan visi ideologinya sekadar “tameng” saja, dan tidak menjadi pertimbangan mendasar, karena di dalam logika koalisi sekecil apapun, bargaining politik tak bisa diabaikan, kendati tidak secara terus terang mencuat kepermukaan.

Dengan kata lain, persoalan koalisi adalah persoalan tawar-menawar jabatan politik dari partai politik yang melakukan koalisi untuk menjadi partai utama dalam pemerintahan. Itu sebabnya, power sharing (pembagian kekuasaan) di antara partai politik yang melakukan koalisi tersebut sangat tidak mungkin dihindari, bahkan itu bisa menjadi keniscayaan. Distribusi kekuasaan yang seimbang dan adil itulah keharusan yang tak bisa diabaikan dalam kabinet koalisinya, agar koalisi tersebut berjalan dengan “ideal”. Satu sama lainnya tidak saling menjatuhkan karena dasar egoeisme politiknya.

Kecenderungan alasan-alasan seperti itulah, koalisi partai politik sebenarnya untuk membentuk apa yang disebut dengan partai utama dalam membentuk dan sekaligus menjalankan roda pemerintahan yang kondusif. Kendati memang kesamaan visi dan keterbukaan platform-nya merupakan awal menuju koalisi yang benar-benar menjadi partai utamanya, sehingga mekanisme pergumulan kehidupan politik negara bangsanya yang dikelola oleh kabinet koalisi tersebut ada dalam konstatasi yang relatif efektif untuk melakukan koordinasi pemerintahan.

Koalisi itu ada karena adanya kepentingan yang sama dalam jabatan politik tersebut, sehingga dalam hal ini, distribusi kekuasaan yang adil menjadi penting. Namun juga koalisi itu bisa berjalan dengan efektif, bila memang egoisme politik dari partai politik yang melakukan koalisi tersebut disimpan rapih-rapih, dikarenakan yang menjadi sandaran pentingnya bukan kepentingan golongan/kelompoknya, namun kepentingan rakyat banyak dalam meningkatkan kesejahteraannya. Dalam bahasa lain, program-program pemerintahan koalisi tersebut berjalan dengan efektif.

Rangkaian koalisi merupakan awal yang bisa signifikan, bisa pula sebaliknya. Koalisi bisa signifikan, bila pergumulan kehidupan politik negara bangsa berjalan dengan demokratis di mana kesamaan hak dan adanya keadilan berjalan sebagaimana mestinya. Sehingga percaturan politik nasional berjalan dalam koridor yang inklusif. Itu sebabnya, keadilan dalam perpolitikan adalah menjadi anjakan penilaian yang representatif dan substantif. Begitu pun sebaliknya, koalisi bisa berjalan tidak signifikan, kalau memang koalisi itu mengulang kembali mekanisme politik Indonesia dalam ranah yang mengiris hati rakyat. Dalam arti, tuntutan-tuntutan dan aspirasi rakyat banyak “terjegal” oleh kepentingan koalisi semata, karena semata-mata taktik untuk memeroleh dan mempertahankan kepentingan kekuasaannya.

Kabinet multipartai pimpinan Presiden SBY di dalam menginjak dua tahun pemerintahannya, justru disadari diakui atau tidak, terdominasi oleh hiruk pikuk pemerintahannya, seperti akhir-akhir ini kasus korupsi yang terjadi di Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dan di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans), tentu saja telah menggoyahkan roda pemerintahan ini. Di samping itu pula, jauh-jauh hari sebelumnya, instruksi-instruksi Presiden SBY 50 persen tidak berjalan atau dijalankan oleh para pembantunya. Hal ini menunjukkan bahwa KIB II ini, tidak berjalan efektif dalam melaksanakan program-program yang telah ditentukan.

Memang, dari perjalanan pemerintahannya SBY, wacana reshuffle kabinet pun terus muncul, apalagi ketika kasus di dua kementerian tersebut mengemuka, maka isu perombakan kabinet semakin kencang kepermukaan. Waktu dua tahun pemerintahan yang dipimpin Presiden SBY, tampaknya menjadi momentum untuk melakukan perombakan kabinet. Oleh karena momentum ini kalau tidak dimanfaatkan secara optimal oleh Presiden SBY, maka secara hitungan waktu perjalanan pemerintahannya tinggal tiga tahun lagi, sesungguhnya akan kehilangan peluang di dalam menjalankan program-program pemerintahan yang efektif, terutama dengan agenda pemberantasan korupsi sebagai salah satu janjinya.

Perombakan kabinet, merupakan hak prerogratif Presiden di dalam sistem pemerintahan presidential. Presiden SBY tentu saja dapat menjalankan politik kewenangannya di dalam sistem pemerintahan tersebut, sejak semula tidak akan berani melepaskan diri dari partai-partai yang sudah berkoalisi selama ini. Oleh karena koalisi partai dalam pemerintahannya itu secara sadar merupakan bagian tak terpisahkan dukungan politiknya. Paling tidak dalam perompakan kabinet tersebut, Presiden SBY hanya mengganti orang-orang partai berkoalisi dengan orang-orang partai pula, atau kecenderungan lainnya adalah memindahkan posisi semula ke pos baru.

Jadi, apapun yang diputuskan Presiden SBY dalam perombakan kabinet, sejatinya kabinet multipartai ini, menanggalkan egosime politik partai politiknya masing-masing, dan menjalankan program pemerintahan agar berjalan dengan efektif. Koalisi dengan pembagian jabatan politik yang adil, merupakan konsekuensi politis adanya koalisi tersebut. Namun, titik tolak koalisi partai politik mesti mempunyai relevansinya yang sangat kuat bagi penghidupan representatif rakyat Negara bangsa Indonesia.

*dimuat di Bandung Ekspres, Senin, 3 Oktober 2011


Tinggalkan komentar

Kategori